OTONOMI DAERAH ( PEMEKARAN DAERAH )

I. `PENDAHULUAN

Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah otonomi daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Otonomi daerah menyangkut tentang pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah.

Otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antara daerah dan daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi pada pelaksanaannya kebijaksanaan otonomi daerah memiliki beberapa kendala, antara lain :

a. Belum memadainya regulasi atau peraturan pelaksanaan kebijaksanaan Otonomi Daerah.

b. Terdapatnya inkonsistensi Pemerintah Pusat dalam melaksanakan kebijaksanaan Otonomi Daerah

c. Belum terdapatnya persamaan persepsi dalam menafsirkan kebijaksanaan Otonomi Daerah dari berbagai kalangan.

d. Terbatasnya kemampuan SDM dalam melaksanakan kebijaksanaan Otonomi Daerah.

Tetapi, tetap saja otonomi daerah masih terus diberikan. Seringkali pemberian otonomi daerah tidak memperhatikan kemampuan daerah itu. Seperti yang banyak terjadi dengan daerah – daerah otonom yang ada saat ini. Salah satunya adalah banyaknya masalah yang timbul akibat pemekaran daerah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Terbukti setelah Departemen Dalam Negeri (Depdagri) melakukan evaluasi terhadap 148 daerah otonomi atau hasil pemekaran dari 98 yang telah dievaluasi oleh pemerintah dan ternyata 76 diantaranya bermasalah. Salah satu penyebab adalah belum tercapainya angka potensi kemampuan ekonomi. Selain itu, ada 87,71 persen daerah induk belum menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan, dan Dokumen). Kemudian, 79 persen daerah otonomi baru belum memiliki batas wilayah yang jelas. Selanjutnya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonomi baru. Kemudian, 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran. Dan juga terdapat beberapa daerah yang melanggar undang-undang pembentukan daerahnya, yakni Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah serta Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Daerah-daerah itu masih belum menempati ibu kota daerah yang telah ditentukan undang-undang.

II. PEMEKARAN DAERAH

Banyak daerah yang dimekarkan tidak betul-betul didasarkan pada studi kelayakan. Padahal, suatu daerah yang akan dimekarkan harus dilihat juga potensi ekonomi, sosial, sumber daya manusia, dan politik. Pemekaran sering dikaitkan dengan kepentingan politis para petinggi di daerah, tanpa berorientasi pada kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah pusat juga harus jeli melihat tuntutan pemekaran itu murni atau politisasi kelompok tertentu.

II. A PEMEKARAN DAERAH YAHUKIMO

Yahukimo adalah salah satu pemekaran Kabupaten Jayawijaya yang namanya mengambil dari empat nama suku yang bermukim di sana, yaitu Yali, Hubla, Kimyal, dan Momuna. Ia ditetapkan menurut Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2002 dan diresmikan setahun kemudian pada 12 April. Meski sudah berumur setahun, daerah ini masih bergelayut pada induknya dan belum bisa berdiri sendiri di tanah kelahirannya.

Yahukimo beriklim tropis basah dengan topografi bervariasi, dari berbukit-bukit hingga pegunungan dan dataran rendah di ketinggian 100-3.500 meter di atas permukaan laut.

Sekitar 60 persen wilayahnya merupakan pegunungan dan sisanya lembah atau dataran. Selain itu 90 persen tanahnya merupakan hutan! Dengan kepadatan penduduk enam orang per kilometer persegi, tak berlebihan kalau Yahukimo belum banyak “tersentuh” segala urusan yang berkaitan dengan hiruk-pikuknya sebuah kabupaten. Sumohai, ibu kota resmi menurut UU No 26/2002, rupanya masih berselimutkan hutan belukar! Saking rapatnya pepohonan di sana sampai- sampai terkesan sulit melihat langit. Memang bukan cuma faktor alam dan hutan yang jadi masalah. Penetapan tiga distrik, termasuk 90 desa dan satu kelurahan, sarana dan prasarana yang serba terbatas, banyaknya penduduk yang masih tinggal di lereng dan daerah terpencil, plus ketergantungan pada angkutan udara membuat pemerintah kabupaten (pemkab) sulit memberi pelayanan kepada masyarakat. Supaya bisa lebih “menjangkau” masyarakat, sejak tahun 2003 pemkab memekarkan lagi empat distrik dan membentuk 27 pos perwakilan.

Menghadapi kondisi itu, kegiatan pembangunan harus dimulai dari titik nol. Artinya memulai segala sesuatu benar-benar dari nol! Dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2004 Rp 110 miliar, salah satu kegiatan untuk Sumohai di tahun ini adalah menyusun rencana umum tata ruang kota (RUTRK), membangun lapangan terbang, jalan lingkungan sepanjang enam kilometer, dan pembersihan lokasi untuk kantor dan perumahan pemkab. Untuk pekerjaan besar ini, diperlukan helikopter dari Ukraina guna mengangkut alat-alat berat ke “kota” itu. Rencananya akhir bulan ini helikopter itu akan datang.

Dengan pusat pemerintahan sementara di Wamena, ibu kota kini berada di pos perwakilan Dekai. Dari pos ini juga direncanakan pembuatan ruas jalan Dekai-Muruku-Logpon (tempat penampungan kayu) sepanjang 20 kilometer. Sementara di Muruku terdapat Sungai Brasa yang dapat dimanfaatkan sebagai akses transportasi hingga ke Logpon dan Merauke. Yang jelas, sampai sekarang, sarana perhubungan ke Yahukimo masih mengandalkan pesawat udara yang biayanya cukup mahal.

Di balik alam hutan yang “tak tersentuh” itu, ekonomi Yahukimo ditopang oleh pertanian, terutama tanaman pangan (54,65 persen). Penduduk usia 15 tahun ke atas hampir 90 persen terserap dalam kegiatan cocok tanam bahan pangan. Walaupun potensi lahan tanaman pangan dan hortikultura 9,2 persen dari total luas lahan, mulai pertengahan 2003 hingga tahun 2004 sekitar 1.736 hektar digarap untuk padi ladang, umbi-umbian, sayur, buah, dan kacang-kacangan.

Padi ladang ditanam pada lahan 1,5 hektar, tanpa pupuk, dan menghasilkan panen 156 karung gabah kering giling (GKG). Satu karung berisi sekitar 10 kilogram. Panen ini berlangsung pada Januari-Februari lalu di Pos Perwakilan Distrik Suru-Suru. Jenis yang ditanam adalah IR 36 dan merupakan usaha swadaya masyarakat. Kecuali Suru-Suru, padi belum menyebar ke daerah-daerah lain. Berdasarkan survei dinas pertanian, daerah di selatan Yahukimo, seperti Pos Perwakilan Obio, Dekai, Sumo dan Seradala, bisa dikembangkan untuk padi itu.

Lahan padi ladang dan sawah yang potensial sampai sekarang tercatat 102.681 hektar. Sayangnya, bibit padi hingga kini harus dibeli di Suru-Suru yang berbatasan dengan wilayah Merauke. Selain itu, karena jumlah petani padi tidak banyak, tidak mungkin semua kegiatan ditujukan untuk bersawah. Di sisi lain, pengembangan lahan untuk ubi-ubian (hipere), keladi dan singkong, serta tanaman sagu 81.759 hektar menyebar di dataran rendah maupun tinggi.

Hutan Yahukimo menghasilkan komoditas seperti kelapa hutan, buah merah (Pandanus Sp), pohon kasuari, kulit kayu lawang, gaharu, dan rotan. Buah merah adalah buah pandan bernilai gizi tinggi yang berkhasiat seperti akar ginseng. Adapun kelapa hutan kebanyakan tumbuh di hutan-hutan dataran tinggi, tetapi belum banyak dibudidayakan masyarakat. Kelapa hutan dan buah merah banyak terdapat di Kurima, Anggruk, Ninia, Soba, Samenage, Musaik, Kosarek, Silimo, Suru-Suru, Obio, Dekai, dan Panggema. Dua tanaman ini diharapkan bisa menjadi komoditas pada kawasan hutan cadangan pangan dan hutan kemasyarakatan. Daerah-daerah ini juga cukup subur untuk tanaman kopi, kelapa sawit, kelapa dalam, kakao, dan panili.

Di tengah kesibukan menyiapkan infrastruktur dan mengembangkan potensi pertanian, Yahukimo masih menyimpan masalah lain yang tak kalah peliknya. Kualitas hidup masyarakat masih memprihatinkan, misalnya banyak yang berperut buncit, konsumsi protein rendah, ditambah masih banyak kasus malaria. Sementara itu, fasilitas pendidikan pun banyak yang masih jauh dari kondisi layak. Ditambah dengan persebaran penduduk yang mencapai 16 suku! Hal ini menjadi problem tersendiri karena menyangkut pola permukiman, gaya hidup, bahasa dan dialek serta pertimbangan-pertimbangan adat yang membutuhkan perlakuan berbeda-beda. Semua ini masih ditambah dengan kondisi daerah yang rawan gempa. Yang terakhir ini bukan sesuatu yang baru karena kerap terjadi sejak tahun 1970-an.

II. B PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

Eks Wilayah Pembantu Bupati Wilayah II yang mekar melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 ini memang belum lama umurnya. Gerak pemerintahannya saja baru sah berjalan pada 17 Januari 2004. Kalaupun tak lepas dari induknya, ia sudah punya nilai lebih, yaitu letak daerahnya yang strategis.

Wilayah dengan 194 desa ini berada di jalur trans Sumatera yang ramai dilalui bus dan truk antarkota maupun provinsi. Juga, persimpangan antara Kabupaten OKU Selatan, OKU, serta Lampung, dengan Martapura sebagai pusat ekonomi barang dan jasa. Keramaian ini masih ditambah lagi dengan jalur lalu lintas kereta api angkutan batu bara dari Tambang Bukit Asam (Kabupaten Muara Enim) ke Lampung (Tarahan), plus kereta api penumpang rute Palembang-Lampung.

Kabupaten ini memang pantas bergelar raja beras. Dengan empat jenis lahan sawah, irigasi, tadah hujan, pasang surut, dan rawa lebak, musim tanam dan panen bisa berlangsung sepanjang tahun. Dalam waktu dua tahun saja musim tanam padi sawah bisa lima kali. Pada tahun 2001 produksinya mencapai 326.507 ton dan sampai tahun lalu melonjak 55 persen (588 ton). Untuk tahun 2004, sasarannya diperkirakan 727 ton.

Semua kecamatan merupakan penghasil padi, dengan sentra terbesar di Kecamatan Buay Madang, Semendawai Suku III, dan Belitang. Itu sebabnya kabupaten ini sering disebut sebagai lumbung beras utama Sumatera Selatan (Sumsel) bersama Kabupaten Banyuasin. Provinsi ini tercatat sebagai salah satu pemasok beras untuk cadangan pangan nasional.

Ketika masih bergabung dengan OKU, dengan penduduk sekitar satu juta jiwa, kabupaten ini memang sudah unggul dalam hal tanaman padi. Sejak pemekaran-termasuk dengan OKU Selatan-surplus pun makin tinggi. Dengan penduduk sekitar 500.000 jiwa, surplus mencapai 250.000 ton.

Pasar untuk beras daerah ini cukup banyak. Selain di tingkat kecamatan, kabupaten tetangga, dan Kota Palembang, bahan pangan ini banyak diminati pedagang dari Bengkulu, Lampung, dan Jawa Barat. Pilihan varietas juga banyak, mulai dari IR 64, 42, ciliwung, cisadane, hibrida, hingga pandan wangi. Soal harga, untuk kondisi masa panen gadu (April-September) bervariasi mulai dari Rp 1.200 sampai Rp 2.300 per kilogram.

Selain tanah subur dan topografi yang ideal untuk persawahan, keunggulan itu juga disokong oleh 731 penggilingan serta pengairan yang bersumber dari Bendung Gerak Perjaya di Kecamatan Martapura. Bendung ini merupakan bagian dari Proyek Irigasi Komering yang memanfaatkan sumber air dari Danau Ranau (Kabupaten OKU Selatan) yang mencakup Provinsi Sumsel seluas 75.000 hektar dan Lampung 50.000 hektar.

Meski proyek ini baru mencapai tahap kedua-dari tiga tahap hingga tahun 2016-OKU Timur mendapat “jatah” 80 persen dari total Sumsel. Selebihnya untuk Ogan Komering Ilir (OKI) 15.600 hektar.

Terhadap beras yang melimpah deras, masyarakat pun terbiasa menyimpan di lumbung, baik sebagai rumah tangga, desa, maupun kelompok warga. Pola ini membuat masyarakat tak pernah kekurangan beras kendati di masa paceklik. Kalaupun kemarau panjang, petani masih bisa menanam padi sonor yang bisa mencapai panen 1 ton-1,5 ton. Jenis ini cukup disebar pada lahan, dengan pengairan satu kali dan tanpa pupuk.

Jagung, kacang tanah, ubi kayu, dan kedelai juga tumbuh subur. Keempat bahan pangan ini banyak dihasilkan di Buay Madang, Madang Suku I dan II, Martapura. Juga, sumber daya ikan yang bisa dikembangkan pada kolam air tenang, mina padi dan kolam air deras, serta perairan umum.

Tak kalah pentingnya adalah jeruk, durian, dan duku. Yang terakhir merupakan komoditas spesial, yaitu duku rasuan yang banyak dihasilkan Kecamatan Cempaka, Belitang, dan Madang Suku I. Kabupaten ini memang menjadi sentra rasuan yang sudah ditetapkan sebagai varietas unggul nasional.

Tahun 2003, dari luas panen 1.212 hektar, produksi buah berkulit kuning ini mencapai 9.001 ton, dengan pasar terbesar Jakarta dan Bandung. Soal harga, bervariasi. Ketika panen raya sekitar Rp 2.500 per kg, tapi menjelang ujung panen Rp 5.000 atau Rp 6.000 per kg. Biasanya para petani menjual ukuran kotak (15-20 kg) dengan harga Rp 35.000 sampai Rp 60.000 per kotak. Saking terkenalnya duku rasuan, orang sering mengklaim itu sebagai duku palembang, padahal sama sekali berbeda. Tidak jarang para pedagang mencampur keduanya dan dijual sebagai duku palembang.

Selain pertanian, tanah OKU Timur mengandung batu bara dan beberapa bahan lain yang dikategorikan berprospek seperti minyak, marmer, emas, obsidian, sungkai, andesit, pasir bangunan, sirtu, batu kali, dan tanah liat. Batu bara cukup menjanjikan. Dengan cadangan sekitar 195 juta ton, bahan tambang ini berada di Buay Madang (Desa Muncak Kabau, Kurungan Nyawa, Teko Rejo, dan Pakuan Jaya), Madang Suku II (Desa Batu Marta), dan Martapura (Desa Mendah dan Bunga Mayang).

Kemampuan kabupaten ini sebagai lumbung beras dan hasil lainnya memang bukan sesuatu yang baru. Saat masih menyatu dengan OKU, pembangunan wilayah ini sudah dirancang berlandaskan pertanian. Sekarang, dengan status otonom, konsep itu diteruskan sebagai pengembangan usaha agrobisnis tanaman pangan, perikanan, dan peternakan dari berbagai tingkatan sekaligus mengusahakan kerja sama kemitraan. Konsep ini boleh dibilang sudah didukung sejumlah fasilitas umum, seperti pasar, jalan-jalan antardesa dan kecamatan yang relatif mulus, serta terminal.

Seperti yang banyak dialami daerah pemekaran lain, semua itu berjalan bersama sejumlah kendala. Di tingkat pemerintahan misalnya. Dalam hal anggaran, dana alokasi umum (DAU) dan APBD masih bergantung pada Baturaja alias kabupaten induk. Sumber dana bagi pemda dan dinas, baik untuk kegiatan harian, tunjangan jabatan, maupun penambahan staf, masih amat sangat terbatas. Masalah ini berjalan dalam keadaan sarana bangunan pemerintah daerah dan dinas yang masih sementara dan terpencar-pencar.

Kondisi yang masih memprihatinkan juga terlihat pada telepon yang masih terbatas jumlahnya, listrik yang masih byar pet-terutama jika hujan-dan fasilitas kesehatan (kabupaten) yang masih sebatas puskesmas. Semua kendala ini setidaknya mencerminkan bahwa OKU Timur belum bisa menjadi “raja” sepenuhnya atau dengan kata lain belum bisa berdiri sendiri.

Dari kedua contoh diatas dapat kita simpulkan bahwa pemekaran daerah yang dilakukan sekarang ini tidak sesuai dengan tujuan otonomi daerah yaitu untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemekaran daerah yang dilakukan justru menimbulkan banyak permasalahan yang membebani rakyat.Contohnya saja di Yahukimo terjadi permasalahan kelaparan, dan di kabupaten OKU masih kekurangan listrik, sarana kesehatan, dsb. Hal ini disebabkan karena terlalu longgarnya persyaratan untuk menjadi daerah otonom. Oleh sebab itu, Depdagri bermaksud untuk memperketat persyaratan untuk menjadi daerah otonom. Hal itu akan dilakukan dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan daerah. Menurut Depdagri pemekaran harus betul-betul ditelateni (diperhatikan dengan sungguh – sungguh). Jadi, pemekaran bukan hanya untuk kepentingan birokrasi semata tetapi untuk pendekatan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang jeli dari Pemerintah Pusat. Dalam proses pemekaran ke depan yang harus diperhatikan adalah aspek pelayanan untuk publik dan kesejahteraan masyarakat.

Published in: on 21 Februari 2009 at 8:08 am  Tinggalkan sebuah Komentar